-->

Hello, this is me!

Nur Imroatun Sholihat

Your friend in learning IT audit Digital transformation advocate a-pat-on-your-shoulder storyteller

18 Jan 2013

24/7

  • January 18, 2013
  • by Nur Imroatun Sholihat

Gerak bola matanya melambat. Berulang kali kelopak matanya terjatuh, terpejam sejenak, lalu terbuka kembali. Binar matanya teduh. Dia mengusap matanya, mengalirkan energi kesabaran untuk menunggu hujan berujung. Sorot mata tenang menatap gemericik hujan. Alis matanya merahasiakan betapa ia ingin terlelap sembari menunggu waktu langit berhenti menangis. 


Selama hujan berguguran, selama itulah aku akan menjadi perempuan paling setia menunggu keredaannya. Sudah tiga musim hujan berlalu sejak aku pertama memandangi hujan dari sudut pandangnya. Sejak saat itu pula, hujan selalu berarti sama untukku. Hujan telah menjadi hal paling menyenangkan kedua setelah keberadaannya.

Buliran air dari langit berjatuhan dengan penuh amarah. Tidak hentinya bumi memantulkan air sejak dua jam yang lalu. Dia belum beranjak sedikit pun dari sangkar dinding tempat kami berlindung. Hatiku seperti hendak berlarian ketika dia ada di sudut gedung menunggu hujan. Langkah kakiku menghampirinya seperti telah menjadi kebiasaan.

“Setiap orang terlahir istimewa. Pekerjaan yang kamu kerjakan, meskipun dianggap pekerjaan kecil oleh orang lain, adalah sebuah pekerjaan besar. Membayangkan kalau kamu nggak masuk kantor, berapa banyak orang yang mencarimu.” Jawabnya atas ceritaku 5 menit yang lalu. Dia menatapku dengan mata yang menyembunyikan rasa kantuknya.

Aku hanya tersenyum. Sekali lagi, tidak ada hal lain yang bisa ku lakukan selain tersenyum. Lelaki di hadapanku ini, diam atau apapun yang dia lakukan--setiap detailnya membuatku begitu bahagia.

Tuhan, bagaimana manusia di hadapanku ini dulu diciptakan? Setiap tutur kata dan cara pikirnya mendamaikan gelombang yang menyapa kehidupanku. Sungguh istimewa seseorang yang terlahir dengan pikiran begitu sulit untuk terkoyak. Kejernihan penyelesaian yang dia tawarkan padaku,menjadi satu dari selaksa alasan hujan begitu menarik di mataku. Saat sahabat baikku itu menanti hujan reda, saat itulah aku mendengar keteduhan hatinya berpendaran.

That’s inner peace. Sekalipun dunia mengubrak-abrik hidup, pastikan hatimu tenang.” Dia seolah menjawab pertanyaan yang berkecamuk di pikiranku.

Kini aku mengerti dulu mengapa aku begitu menyukai hujan. Hujan menahannya untuk berada di tempat yang sama denganku. Meskipun terdengar sangat egois, aku bahkan ingin Tuhan mengurungku dan dia dalam tempat yang sama dan hujan turun 24 jam 7 hari agar dia tak bisa pergi sejengkal pun.

Hujan hari ini tidak lagi sama. Seandainya dia tidak berpindah ke kota lain, mungkin aku masih akan terus menjadi seseorang yang tersenyum pada hujan. Seandainya saja waktu itu aku berhasil mengumpulkan segenap keberanianku untuk mengatakan perasaanku padanya. Seandainya saja dia tidak seperti hujan yang cepat berlalu.

Ada begitu banyak pengandaian dalam pikiranku saat ini. Seandainya saja tak perlu dengan hujan, aku bisa bersamanya 24/7.

24/7 saja cukup......

(Hujan jangan marah. Jakarta, 20130117)

0 Comments:

Post a Comment

Videos

Jakarta, Indonesia

SEND ME A MESSAGE